MAKALAH
FERTILISASI IN VITRO

KELOMPOK
II
1.
DONATUS NALAQ (10)
|
6. FLORIANUS F. TUNDUR (15)
|
2.
DONISIUS F.LODO (11)
|
7. FRANSISKUS BEREK (16)
|
3.
EL YOAN ABOR (12)
|
8. FRANSISKUS RONALDO TOBU (17)
|
4.
ENGELBERTUS A. HAMI (13)
|
9. FREDERIKUS F. FONO (18)
|
5.
ESTER B. NIJA (14)
|
|
FAKULTAS
PETERNAKAN
UNIVERSITAS
NUSA CENDANA
KUPANG
2017
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
LATAR BELAKANG
Kebutuhan konsumsi daging nasional cenderung meningkat setiap tahunnya.
Oleh karena itu dibutuhkan peningkatan populasi ternak terutama ternak
ruminansia melalui ketercukupan penyediaan bibit baik dari segi kualitas maupun
kuantitasnya. Bibit yang baik umumnya dapat menghasilkan keturunan dengan
produktivitas yang tinggi. Peningkatan produktivitas ternak dapat dilakukan
dengan berbagai macam cara, salah satunya adalah dengan menerapkan terknologi
fertilisasi in vitro. Fertilisasi in vitro ini diharapkan mampu
meningkatkan jumlah populasi ternak yang ada sehingga kebutuhan komoditas
daging sapi maupun ternak ruminansia lainnya dapat terpenuhi. Fertilisasi in
vitro ini umumnya memanfaatkan ovarium dari ternak hasil pemotongan RPH
(Rumah Pemotongan Hewan) sehingga mempunyai efisiensi reproduksi yang tinggi.
2.1.
TUJUAN
Agar mahasiswa mampu
mengetahui tentang apa itu vertilisai in
viitro dan dapat memahami tahap-tahap
fertilisasi in vitro.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 FERTILISASI IN VITRO
Fertilisasi terdiri dari penyatuan
atau fusi dua sel gamet jantan (spermatozoa) dengan sel gamet betina (ovum)
untuk membentuk satu sel atau zygote. Proses ini terjadi
dibawah ampula tuba fallopii (Hafez, 1980)
Fertilisasi In Vitro dirintis
oleh P.C Steptoe dan R.G Edwards (1997). Merupakan suatu upaya peningkatan
produksi didalam menyelamatkan bibit unggul yang tidak dapat dilakukan dengan
fertilisasi in vivo yaitu dengan suatu teknik pembuahan dimana sel ovum
dibuahi diluar tubuh.
Teknologi fertilisasi secara in vitro (FIV) pada
ternak, khususnya sapi merupakan salah satu usaha memanfaatkan limbah ovari
dari induk sapi betina yang dipotong di Rumah Potong Hewan. FIV ini diharapkan
dapat memproduksi embrio sapi dalam jumlah massal untuk dititipkan pada induk
resipien, sehingga dapat diperoleh ternak dalam jumlah banyak untuk
meningkatkan populasi ternak di Indonesia (Kaiin et al., 2008).
In Vitro Fertilization (IVF) Merupakan metode pengamatan
terhadap terjadinya proses fertilisasi dengan cara membuat percobaan pembuahan
di luar tubuh. Menurut Supri Ondho (1998) secara garis besar percobaan IVF
meliputi serangkaian kegiatan berupa mengumpulkan ovarium, koleksi oosit,
kapasitasi spermatozoa, pembuahan dan perkembangan embrio. Berikut ini adalah
tahapan-tahapan fertilisasi In Vitro :
1. Pengumpulan ovarium dari Rumah
Pemotongan Hewan (RPH), Pengumpulan ovarium dilaksanakan dengan cara mengambil
ovarium dari ternak yang dipotong. Setelah ovarium didapatkan, kemudian
dimasukkan ke dalam NaCl fisiologis 0,9% dan di bawa ke laboratorium.
2.
Koleksi
Oosit, proses koleksi oosit ini dapat dilakukan dengan tiga metode yaitu
.
3.
Maturasi Oosit, Fertilisasi,
Kultur in
Vitro
4.
Pembekuan
Embrio
5.
Program
Transfer Embrio
2.2 METODE KOLEKSI OOSIT
Didalam melakukan koleksi oosit : Berikut ini adalah
metode yang dapat digunakan A. ASPIRASI
:
1.
Ovarium
dipindahkan ke dalam cawan petri kemudian dicuci/dibilas dengan menggunakan
NaCl Fisiologis 0,9%
2.
Ovarium
diletakkan di dalam beker glass dan pertahankan suhu pada 37,5 ºC.
3.
Permukaan
ovarium dibersihkan sekali lagi dari kemungkinan adanya kotoran yang masih
melekat, dengan cara meletakkan di atas kertas saring.
4.
Disposable
syringe diisi dengan NaCl Fisiologis 0,9% (1-1,5 ml). Gunakan jarum suntik
ukuran 21 g yang dipasang pada disposable syringe ukuran 5 ml tersebut.
5.
Tusukan
diarahkan pada bagian parenkhim ovarium dekat folikel yang membentuk vesikula
(diameter 1-5), kemudian diaspirasi. Atau dapat pula jarum ditusukkan melalui
stroma ovarium lalu menuju folikel. Cara ini untuk menghindari terlepasnya
oosit keluar dari permukaan ovarium melalui permukaan folikel yang tipis.
6.
Setelah
seluruh folikerl dalam satu ovarium diaspirasi. Selanjutnya cairan aspirasi
yang mengumpul memenuhi syringe dipindahkan segera ke dalam petridish 35 mm
yang telah dipersiapkan.
7.
Jumlah,
kualitas oosit, serta waktu yang dibutuhkan dari setiap ovarium dicatat.
8.
Oosit
yang didapatkan kemudian dibilas sebanyak tiga kali dengan NaCl Fisiologis 0,9
% kemudian dipindahkan sementara ke dalam medium yang sama untuk menunggu
proses selanjutnya.
B. TEKNIK
SAYATAN
1.
Ovarium
disayat menjadi 4 sampai delapan bagian, kemudian setiap bagian disayat menjadi
bagian-bagian yang lebih kecil dengan menggunakan gunting/skapel dalam cawan
petri yang diisi NaCl fisiologis 0,9% secukupnya. Dengan bantuan mikroskop
pembesaran 200 kali dapat diidentifikasi oosit yang terdapat dalam ovarium
tadi.
2.
Dengan
menggunakan mikropipet dipindah/ dikumpulkan oosit yang sudah diperoleh kedalam
cawan petri lainnya
3.
Dihitung
jumlah perolehan dari kualitas oosit, media serta waktu yang dibutuhkan dari
setiap ovarium dengan cara ini.
4.
Oosit yang
dipindahkan dibilas tiga kali kemudian dipindahkan ke dalam Na Cl fisiologis 0,9% untuk dilakukan proses selanjutnya
C.
TEKNIK INJEKSI MEDIUM
1.
Ovarium
dicuci bersih dengan menggunakan NaCl fisiologis 0,9%.
2.
Isi
disposable syringe dengan NaCl fisiologis 0,9% 1-1,5 ml. Tusukan-tusukan dibuat
merata diseluruh permukaan ovarium dengan menggunakan jarum ukuran 21 g,
kemudian disemprotkan medium perlahan-lahan.
3.
Cairan
medium mengandung oosit yang keluar dari ovarium ditampung di dalam petridish.
4.
Hitung dan
amati jumlah, kualitas oosit yang dapat diperoleh serta waktu yang dibutuhkan
dari setiap ovarium dengan cara ini.
5. Oosit yang didapatkan kemudian
dibilas tiga kali dan dipindahkan ke dalam medium NaCl fisiologis 0,9% untuk
dilakukan peruses selanjutnya.
2.3. KLASIFIKASI OOSIT
Berikut ini merupakan klasifikasi
oosit yang didasarkan atas Cumullus Oophorus yang dapat dijadikan
sebagai parameter kualitas oosit :
·
Kualitas
A, adalah oosit dengan Cumullus Oophorus kompak
·
Kualitas
B, adalah oosit dengan Cumullus Oophorus sebagian
·
Kualitas
C, adalah oosit yang tidak mempunyai Cumullus Oophorus
Maturasi oosit dapat dilakukan pada oosit yang
mempunyai kualitas A dan B
2.4 . MATURASI OOSIT, FERTILISASI, KULTUR IN VITRO
Oosit yang terkoleksi dan mempunyai
kualitas sangat baik dan baik (A dan B) kemudian dicuci dalam media maturasi
TCM 199 (GIBCOTM) + 10 % fetal calf Serum (FCS, GIBCOTM) dan ditambahkan
hormon E2 (1μg/ ml), hCG (10μg/ml) dan FSH (10μg/ml). Oosit tersebut dimasukkan
ke dalam 50 μl spot media maturasi yang sebelumnya telah diekuilibrasi di dalam
inkubator CO2 5%, temperatur 38 °C dan dikultur selama 22-24 jam (Margawati et
al., 2000).
Sebelum dilakukan fertilisasi, sperma beku X atau Y sapi PO
yang telah dipisahkan dengan menggunakan kolom BSA 5-10% (Kaiin et al.,
2003) di-thawing dan masing-masing diperiksa motilitasnya. Motilitas
sperma ≥ 40% digunakan untuk memfertilisasi oosit secara in vitro.
Sperma X atau Y yang telah di-thawing kemudian dimasukkan ke dalam
tabung sentrifugasi, ditambah media semen washing solution (SWS) yang
terdiri atas media Brackett Oliphant (BO) yang mengandung kafein dan heparin,
kemudian sperma disentrifugasi dengan kecepatan 1800 rpm selama 5 menit pada
temperatur 27°C. Supernatan dibuang, kemudian endapan sperma (0,5 ml) ditambah
dengan media semen dilution solution (SDS, yang terdiri atas media BO
dan BSA 20 mg/ ml) sampai konsentrasi 1 x 106 / ml. Spot berisi 100 μl SDS berisi sperma X atau Y dibuat didalam cawan petri,
kemudian ditutup dengan mineral oil dan diinkubasi untuk kapasitasi
sperma selama 1 jam. Setelah itu dilakukan pencucian oosit yang telah
dimaturasi dengan menggunakan media oocyte washing solution (OWS, yang
terdiri atas media BO dan BSA 10 mg/ml). Oosit yang telah dicuci kemudian
ditempatkan ke dalam spot SDS + sperma (10 oosit/ spot) dan dikultur selama 6-7
jam dalam inkubator CO2 (Kaiin et al., 2004).
Oosit
yang difertilisasi kemudian dicuci dengan media kultur CR1aa + 5% FCS sambil
dihilangkan sel-sel kumulusnya dengan menggunakan pipet. Zigot kemudian
dimasukkan ke dalam spot media kultur yang kemudian dimasukkan ke dalam
inkubator CO2 5%, temperature 38°C. Pengamatan perkembangan embrio dari tahap 2
sel sampai morula/blastosis dilakukan setiap 24 jam selama 6-7 hari (Margawati et
al., 2000; Kaiin et al., 2004
2.5. PEMBEKUAN EMBRIO
Embrio yang mencapai tahap morula
atau blastosis dalam kultur in vitro kemudian dicuci dalam media DPBS
mengandung 20% FCS, kemudian dipindahkan berturut-turut ke dalam media yang
mengandung gliserol 3,3%; 6,7% sampai 10% masing-masing selama 10 menit. Embrio
dan gliserol dalam volume sesedikit mungkin kemudian dimasukkan ke dalam straw
bersama dengan kolom-kolom media berisi sukrosa yang berfungsi sebagai media pencuci
gliserol pada saat thawing. Setelah itu, straw yang berisi embrio tersebut
dibekukan dengan menggunakan mesin programmable freezer ET-1 (FHK) dengan
penurunan temperatur secara bertahap 1oC/menit. Selanjutnya pada
saat mencapai temperatur - 30oC, straw dimasukkan dan disimpan dalam
tangki nitrogen cair (temperatur -196oC).
2.6. PROGRAM TRANSVER EMBRIO
Seleksi induk sapi yang akan digunakan sebagai ternak
resipien dilakukan dengan memeriksa keadaan alat reproduksinya. Sapi dengan
kondisi reproduksi yang memenuhi syarat digunakan sebagai ternak
resipien.
Setelah itu sapi diprogram dan disinkronisasi berahinya
dengan penyuntikan PGF2α (Prosolvin, Intervet) dengan dosis 2 ml/ ekor secara
intra muskular. Transfer embrio menggunakan embrio beku hasil FIV dengan sperma
hasil pemisahan dilakukan pada hari ke 6 setelah berahi pada induk resipien
sapi Bali di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara dan resipien sapi FH di
kandang ternak Puslit Bioteknologi LIPI di Cibinong. Straw embrio beku
di-thawing dalam air hangat 37° C kemudian langsung ditransfer ke induk
resipien dengan menggunakan gun transfer.
2.7. KEUNGGULAN FERTILISAI IN VITRO
Berikut ini adalah beberapa
keunggulan dari fertilisasi in vitro :
·
Mempercepat peningkatan populasi dan produksi ternak
serat perbaikan mutu genetis.
·
Memanfaatkan Ovarium dari RPH
·
Perkembangan zigot dapat diamati
·
Pembuahan dapat dilakukan diluar tubuh ternak
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Fertilisasi in vitro terdiri dari penyatuan atau fusi dua sel
gamet jantan (spermatozoa) dengan sel gamet betina (ovum) untuk membentuk satu
sel atau zygote. Proses ini terjadi dibawah ampula tuba
fallopii dan Embrio yang mencapai
tahap morula atau blastosis dalam kultur in vitro kemudian dicuci dalam media
DPBS mengandung 20% FCS, kemudian dipindahkan berturut-turut ke dalam media
yang mengandung gliserol 3,3%; 6,7% sampai 10% masing-masing selama 10 menit.
DAFTAR PUSTAKA
Hafez, E.S.E. 1980. Reproduction in Farm
Animal. 4 th ed. Lea and Febiger. Philadelphia.
Kaiin, E.M., S.Said & B.Tappa. 2008. Kelahiran Anak Sapi
Hasil Fertilisasi secara in Vitro dengan Sperma Hasil Pemisahan. Bidang
Biologi Sel dan Jaringan, Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI.
Kaiin, E.M., M. Gunawan, S.Said & B.Tappa. 2004.
Fertilisasi dan perkembangan oosit sapi hasil IVF dengan sperma hasil
pemisahan. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner.
Puslitbang Peternakan, Bogor. Hlm. 21-25.
Margawati, E.T., E.M. Kaiin, K.Eriani, N.D. Yanthi &
Indriawati. 2000. Pengaruh media IVM dan IVC pada perkembangan embrio sapi
secara in vitro. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 5 : 229-233.
Supri Ondho, Y. 1998. Peningkatan
Pematangan Oosit dan Perkembangan Embrio Domba In Vitro melalui Penambahan FSH,
Estradiol -17B dan Kokultur Sel Epitel Tuba Falopii ke Dalam TCM-199.
Disertasi. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Posted
30th November 2011 by Jambul domba Indonesia.
LAMPPIRAN


No comments:
Post a Comment