MasterTernak

Saturday, 21 April 2018

MAKALAH TRANSGENIK



MAKALAH TRANSVER GENIK


                                            



                                                            KELOMPOK II

1.      DONATUS NALAQ                        (10)
6. FLORIANUS F. TUNDUR              (15)
2.      DONISIUS F.LODO                        (11)
7. FRANSISKUS BEREK                    (16)
3.      EL YOAN ABOR                            (12)
8. FRANSISKUS RONALDO TOBU (17)
4.      ENGELBERTUS A. HAMI           (13)
9. FREDERIKUS F. FONO                 (18)
5.      ESTER B. NIJA                              (14)



FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2017





BAB I
                                                PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
            dikemukakan oleh beberapa peneliti antara lain transfer gen dengan mikroinjeksi pada pronukleus, injeksi pada germinal vesikel, injeksi gen kedalam sitoplama, melalui sperma, melalui virus (sebagai mediator), dengan particke gun (particle bombartmen) dan embryonic stem cells: Diantara metode yang telah dikemukakan diatas ternyata berkembang sesuai dengan kemajuan hasil produksi dan beberapa kelemahan yang dijumpai pada masing-masing metode. Sebagai contoh produksi ternak transgenik dengan metode retroviral sebagai mediator gen yang akan diintegrasikan mulai digantikan dengan metode lain yang tidak mengandung resiko atau efek samping dari virus/bakteri. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa metode mikroinjeksi DNA pada pronukleus yang sering dipakai oleh peneliti (Kart, 1989; Bondioli, et. al., 1991; Hill et. al., 1992 ; Gagne and Sirard, 1995; Kubisch, et. al., 1995; Han, et. Al, 1996; Su, et. al., 1998). Produksi ternak transgenik diperlukan dibidang peternakan. Sebagai contoh pada ternak sapi : panjangnya interval generasi, jumlah anak yang dihasilkan dan lamanya proses integrasi gen menjadi tidak efissien bila dilakukan secara konvensional. Oleh karena itu kebemasilan produksi sapi trangenik sangat diharapkan karena memungkinkan untuk terjadinya mutasi gen secara tiba-tiba (pada satu generasi) dan lebih terarah pada gen yang diinginkan. Performans yang diharapkan dari sapi transgenik adalah sapi yang mempunyai tingkat kesuburan tinggi, efisien dalam pemanfaatan pakan , kuantitas dan kualitas produksi yang lebih tinggi serta lebih resisten terhadap penyakit. Permasalahan pada temak transgenik adalah rendahnya keturunan (offspring) dari ternak trangenik yang dihasilkan baik pada hewan penelitian maupun pada ternak mamalia (sekitar 1-4%) yang nantinya, menjadi prioritas peningkatan produksi ternak dibidang peternakan.
            Rendahnya keturunan pada produksi temak transgenik harus dilihat dari berbagai fase produksi, mengingat panjangnya prosedur yang harus dilalui. Oleh karena iru dalam makalah ini akan dibahas mengenai metode dan pada makalah ini.





B.     TUJUAN
Ø  Meningkatkan produktivitas ternak.
         Pada beberapa negara komposisi genetik dari ternak domestik dimanipulasi untuk kepentingan manusia. Pada tahun-tahun terakhir, perkembangan teknologi rekombinan DNA menjadi dasar penting untuk mengisolasi single gen, menganalisa dan memodifikasi struktur nukleotida dan mengcopi gen yang telah diisolasi dan mentransfer hasil copian pada genome
Ø  Meningkatkan kesehatan ternak.
          Aplikasi dari teknologi transgenik juga digunakan untuk memperbaiki kesehatan ternak. Beberapa pendekatan dilakukan untuk meningkatkan resistensi ternak terhadap suatu penyakit dan pembentukan antibodi.
            Resistensi penyakit bisa terjadi secara alami maupun induksi antibodi. Tikus mengandung gen allel autosom dominan Mx1 yang tahan terhadap virus influenza. Interferon menstimulasi produksi protein Mx yang menjadi promotor ketahanan terhadap infeksi virus.
Ø  Bioreaktor untuk produk-produk biomedis.
            Ternak transgenik memegang peran panting dalam menghasilkan produk-produk untuk pengobatan penyakit. Ribuan orang mengambil keuntungan dari produk-produk biomedik yang dihasilkan.
















                                             BAB II
                                        PEMBAHASAN

A.    TEKNIK TRANSFER GEN
      Dari bebarapa literatur dikemukakan banyak teknik untuk memasukkan DNA asing kedalam genome. Contoh introduksi DNA secara tradisional : presipitasi kalsium (Graham, 1973), infeksi dengan virus sebagai mediator (Muligan et.al, 1979), elektroporasi (Neumann et. al., 1992) dan lipofection (Fraley et. al., 1980). Metode yang dikemukakan Dish Gardon (1994) antara lain: menggunakan sperma sebagai media transfer gen, mikoinjeksi pada pronukleus, dengan menggunakan particle gun (Particle bombardment, media virus, injeksi pada germinal vesicle, injeksi pada sitoplasma oosit (Gambar 1)
Gambar 1. Kemungkinan metode transfer gen pada sapi (Gardon,1994)
Dari berbagai metode di atas akan dibahas di bawah ini satu persatu yaitu :
Ø  Spermatozoa sebagai pembawa gen.
      Spermatozoa merupakan sarana seluler yang spesifik dirancang untuk mentransfer DNA asing kedalam oosit. Metode sperma sebagai media tranfser gen ditemukan oleh Brackett di Amerika Serikat. Penemuan ini menarik minat peneliti dari Italia (Gandolfi et. al., 1989). Mereka mendemonstrasikan sel sperma tikus yang berasal dari epididimis sebagai vektor untuk membawa gen asing kedalam oosit. Pengikatan gen oleh sperma secara optimal bila sperma dalam keadaan motil dan konsentrasi DNA cukup tinggi. Brinster et. al., (1989) melaporkan penelitian transfer gen dengan sperma sebagai media menghasilkan seekor tikus transgenik dari 1300 tikus yang dicoba. Di New Zealand, Peternon et. al.,(1990) mengemukakan waktu yang tepat untuk resorpsi DNA setelah dilakukan kapasitasi terhadap sperma. Di Canada Gagne et. al 1991) dengan menggunakan elektroporasi menunjukkan DNA asing dapat stabil didalam sperma dan lebih menguntungkan karena dapat mengurangi trauma akibat mikro injeksi.
Ø  Mikroinjeksi pada pronukleus
      Kemampuan genetik ternak secara nyata dapat dimanipulasi melalui pembedahan mikro pada embrio stadium awal (embrio satu sel). Pertama sekali metode mikroinjeksi dilakukan oleh Gurdon (1963) pada telur amphibi dengan menginjeksikan sitoplasma kedalam zygot, namun hasilnya tidak berpengaruh pada perkembangan embrio selanjutnya. Kemudian dicoba lagi dengan cara menginjeksi mRNA pada oosit amphibi, ternyata mampu mengkode peptida. Penelitian-penelitian lain mulai menyusul dengan menggunakan hewan laboratorium terutama embrio mencit dan selanjuynya berkembang pada embrio mamalia (Pinkert, 1994).
Pada mamalia dialoprkan aleh Sreenan dan Mc Evoy et. al., (1989) dari 11 resipien dilahirkan dua puluh sapi yang tidak menunjukkan integrasi gen. Injeksi molekul DNA kedalam pronukleus juga sekaligus mempelajari transkripsi dan kontrol translasi selama perkembangan embrio. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pada embrio stadium awal mampu mentranskrip gen baru yang diinjeksikan kedalam pronukleus ( Hill, et. al, 1992). Metode mikroinjeksi DNA pada pronukleus dapat. DNA langsung diinjeksikan pada pronukleus jantan dengan kandungan 200 - 500 copi susunan gen.
Ø  Injeksi gen pada germinal vesikel
      Visualisasi dari pronukleus pada sapi sangat sulit dan pertu pertakuan khusus yaitu sentrifugasi. Pada metode ini penampakan germinal vesikel meski agak sulit menentukan waktunya tapi penelitian di Polandia berhasil dilakukan oleh Jura et. al. (1990) dengan dimana DNA dilarutkan dalam larutan buffer dan diinjeksikan pada mature oesit. Gagne et. al., (1991) melaporkan bahwa injeksi pada germinal vesikel bisa menjadi alternatif bila ditemukan waktu yang tepat untuk injeksi dan ini spesifik untuk setiap spesies.
Ø  Injeksi gen pada sitoplama
      Beberapa peneliti mengemukakan kemungkinan injeksi DNA kedalam sitoplasma. Galli et. al., 1991 melakukan metode ini pada sapi, domba dan babi yaitu injeksi DNA pada stadium berbeda yaitu pada oosit dan zygot, dan hasil yang diperoleh sangat rendah persentsenya. Injeksi gen pada sitoplasma banyak dilakukan pada ikan.
Ø  Particle gun
Metode ini banyak digunakan pada tanaman dengan cara DNA diikat pada suatu mikropartikel. Metode ini pernah dicobakan pada sapi untuk menguji viabilitas sperma dan pengaruhnya akibat adanya mikropartikel (Hough dan Foote, 1990 dalam Gordon 1994). Transfer gen dengan metode ini mempunyai banyak keuntungan yaitu mudah ditangani dengan satu kali tembakan akan menghasilkan beberapa sasaran , partikel dapat mencapai sasaran yang lebih dalam dan dapat digunakan pada berbagai macam jaringan (Potrykus, 1996).
Ø  Virus sebagai media
Seperti pada mikroinjeksi DNA, integrasi gen pada vieur lebih cepat karena kemampuannnya mentranskripsi gen. Efektivitas penggunaan virus telah dicoba pada embrio tikus pada sapi pertama sekali dilakukan oeh Kim et. al., (1993) dengan Murine Leukemia Virus (MLV). Infeksi tidak hanya pada tryphectoderm tapi sampai ICM. Kubisch et. al., (1995) menginduksikan materi DNA yang mengandung promotor SV40 atao pb ActinLacZ yang dikendalikan oleh bakteri beta galatosidase. Pada sapi perah induksi gen bGH terbukti dapat meningkatkan produksi susu sebanyak 18% (Kar1, 1989). Transkripsi jaringan spesifik mammae dari Mouse Mammary Tumor Virus (MMTV) dapat menghasilkan susunan Long Terminal Repeat (LTR) pada genom. Gen dengan struktur c-myc yang berikatan dengan promotor MMTV dan diinduksikan pada embrio tikus menghasilkan tikus transgenik yang mengalami adenocarcinoma pada mammae.

B.     PROSEDUR PRODUKSI SAPI TRANSGENIK
      Produksi sapi transgenik sangat tergantung pada kualitas embrio satu sel yang akan di injeksi. Bila embrio diperoleh secara in vivo maka prosedur diawali dengan superovulasi ternak donor (untuk mendapatkan banyak embrio),koleksi zigot (embrio satu sel), mikro injeksi DNA pada embrio, kultur embrio sampai fase blastosis  ditransfer pada temak resipien dan diperoleh sapi transgenik (Bondioli et.al., 1991).
      Pada produksi embrio secara in vitro dimulai dengan koleksi oosit. Oosit diaspirasi dari folikel berdiameter 2 - 5 mm dengan menggunakan jarum berukuran 18 G. Oosit dicuci dengan 3 kali dengan medium aspirasi 10 mM TALP-HEPES dan TCM-199 (dengan garam Eagle's dan L glutamin) ditambah dengan 0.3% BSA dan 2 mM NaHC03, sedangkan untuk IVM digunakan TCM 199 yang telah diimbuhi dengan hormon FSH dan estradiol. Kultur oosit dilakukan selama 22 - 24 jam dalam inkubator suhu 39°C dan 5% CO2. Spermatozoa yang akan digunakan untuk fertilisasi dipersiapkan dengan metode swim-up dan konsentrasi akhir spermatozoa 1.6 x 106/ml sperma motil (Rexroad and Harold, 1994).
      IVF dilakukan dalam medium BSA, setelah 18 jam diharapkan telah terjadi fertilisasi, kemudian divortex selama 2 menit dalam 2 ml medium TALF-HEPES. Pada tahapan selanjutnya mikro injeksi DNA. Han .et. al., (1996) melakukan penelitian dengan fragmen pBLi (5,5 Kb) yang mengandung promotor gen β casein, lactoferin dan SV40. Metode yang digunakan mikroinjeksi pada nukleus, diawali dengan penampakan pronukleus yang jelas dan embrio satu sel telah bebas dari kumulus oophorus. Setelah disentrifugasi dalam mikrosentrifuse (15000 G) selama 7 menit, embrio diinjeksi dengan larutan yang mengandung DNA tepat pada pronukleus yaitu sekitar 21-25 jam setelah inseminasi buatan. Pembengkakan pronukleus mengindikasikan keberhasilan injeksi materi DNA, Hasil penelitian Han, et. al, (1996) menunjukkan rataan zigot hasil lVF yang diijeksi dengan DNA 85,5% mengalami pembengkakan pronukleus (setelah satu jam injeksi DNA). Rataan embrio sapi yang berkembang menjadi 2 - 8 sel 72,0% (1804/2505) dan yang mampu membentuk blastosit sekitar 5,2% (131/2505).
      Tahapan selanjutnya kultur dari embrio hasil injeksi DNA. Ada 2 cara yang bisa dilakukan yaitu melalui induk perantara (intermediated host) maupun in vitro dengan coculture. Pada cara pertama embrio sapi ditransfer kedalam UTJ (utero tuba junction). Embrio diflushing 6 - 9 hari setelah transfer. Bondioli, et. al.(1991) menemukan kembali 56% embrio yang telah ditransfer dan 50% dari yang ditemukan dapat berkembang sampai fase blastosis. Tujuh hari setelah transfer lebih dari separuhnya berkembang menjadi elongated bastocyts, cara kedua yaitu dengan in Vitro coculture, antara lain dengan menggunakan sel - sel granulosa (Goto, et. al 1992) dan sel- sel oviduct (Bondioli, et. al 1991). Pada awalnya para peneliti mengkultur embrio yang telah diinjeksi DNA dengan medium GR1aa (Rosenkrans, 1993), tetapi hasil penelitian menunjuk rendahnya embrio hasil injeksi yang berkembang menjadi blastosit. Pada perkembangan selanjutnya medium kultur embrio mengarah pada co-kultur yang berasal dari ringan fibroblast. Goto, et. al (1992) mengemukakan bahwa dengan menggunakan co-kultur :rataan perkembangan embrio yang telah diinjeksi DNA sampai tahap blastosit meningkat dari 4% (4/98) menjadi 11% (12/108). Hal lain yang perlu diperhatikan adalah periode kultur dari embrio sapi yang telah diinjeksi DNA" Monson, et. al., (1992) memperoleh rataan kebuntingan tinggi dari embrio sapi yang telah dikultur selama 7 hari. Hal yang sama dilakukan oleh Han, et. (1996) juga memperoleh hasil rataan kebuntingan tertinggi dari embrio sapi yang dikultur selama 7 hari dibandingkan dengan embrio rang dikultur selama 8 hari
      Tahapan terakhir adalah transfer embrio sapi pada ternak resipien. Embrio yang telah berkembang membentuk blastosit baik secara in vivo (melalui induk perantara) maupun yang dikultur secara in vitro ditransfer pada ternak resipien yang telah disinkronisasi sebelumnya i(Eyestone, 1999). Penelitian yang dilakukan Han, et. al., (1996) dengan cara mengklasifikasikan blastosit yang berkembang menjadi 4 grade (hanya kualitas fair - excelent ) dan ditranfer pada ternak resipien. Rataan kebuntingan yang diperoleh dari tranfer blastosis.
      Skema produksi sapi transgenik dengan metode mikroinjeksi pronukleus.  Setelah zigot diperoleh dari hasil flushing sapi donor, gen aging yang diinginkan diinjeksikan kedalam pronukleus zygot yang telah disentrifugasi. Kultur embrio yang biasa dilakukan dengan menggunakan host sebagai perantara kemudian ditransfer pada ternak resipien. Identifikasi gen yang yang diinjeksikan dilakukan pada keturunan ternak transgenik dengan PCR, dilanjutkan dengan analisa DNA yang berintegrasi untuk mengetahui kemampuan transkripsi dari RNA dan produksi protein. Eyestone (1999) mengemukakan bahwa produksi sapi-sapi transgenik secara invitro dapat mereduksi biaya- sekitar 50 - 60% bila dibandingkan dengan aplikasi pemuliaan secara konvensional.
      Pada perkembangan selanjutnya telah dikemukakan keberhasilan generasi ternak transgenik melalui transfer somatik inti pada domba (Schieke, et. al., 1997) dan sapi (Cibelli, et. al., 1998). Pendekatan teknologi ini selangkah lebih maju sebagai upaya meningkatkan efisiensi produksi temak transgenik. Pengujian performance dari generasi pertama dan kedua ternak transgenik dengan metode transfer inti somatik telah dilakukan oleh Su, et.al.,(1998).
      Inti somatik yang digunakan berasal dari fibroblast fetus yang di-tranfection secara in vitro. Pada metode ini verifikasi gen yang diinginkan dilakukan sebelum gen ditransfer, dan tahap selanjutnya transfer gen pada oosit tanpa inti (telah dienukleasi). Tahapan ini memberi waktu pada kedua gen dari masing-masing inti somatik fibroblast untuk melakukan fusi. Setelah kedua komponen fusi, fibroblast transgenik dikultur sampai stadium blastosit dan ditransfer pada temak resipien yang telah disinkronisasi sebelumnya.
Gambar2 : Produk Sapi Transgenik dengan Metode Transfer inti Somatik (Niemann and Kues,2000)

      Pada metode kedua yaitu transfer gen melalui fibroblast fetus. Jika dibandingkan dengan prosedur mikroinjeksi pada pronukleus, maka metode kedua memberikan hasil yang lebih maksimal terhadap ekspresi gen yang diinginkan karena screening gen dilakukan sebelum ditransfer pada oosit yang telah dienukleasi dan memungkinkan dilakukan kloning sehingga dapat meningkatkan jumlah keturunan transgenik. Pada metode injeksi inti permasalahan rendahnya teturunan transgenik (sekitar 4 - 5%) belum dapat diatasi karena indentifikasi dari gen yang terkandung pada keturunan transgenik dilakukan setelah dihasiikan anak dari ternak resipien, sedangkan pada metode transfer gen melalui inti somatik sel- sel fibroblastfetus, verifikasi dari gen yang berintegrasi dilakukan sebelum terjadi fusisehingga sangat memungkinkan hanya gen-gen yang diinginkan yang akan mengalami fusi dan berkembang menjadi blastosit. Karena gen-gen yang diinginkan telah diverifikasi pada tahap awal maka ekspresi gen setelah fusi lebih optimal dan membuka peluang lain yaitu pembuatan kloning sebelum blastosit ditransfer pada ternak resipien sehingga baik secara kualitas dan kuantitatif keturunan ternak transgenik lebih meningkat.
C.     DETEKSI TERNAK TRANSGENIK
     Integrasi dan ekspresi gen yang ditranfer dapat dilihat deteksi melalui 3 tahapan :
Ø  Deteksi konstruksi gem dengan Southern blot Analysis
     Pada saat ternak lahir, DNA langsung diisolasi dari jaringan atau darah spesimen. Sulit untuk mendeteksi DNA yang mempunyai berat molekul tinggi. Isolasi DNA dilakukan dengan retriksi enzim endonuklease dengan elektroforesis gel agarose untuk memisahkan fragment DNA. DNA ditransfer pada nitroselulosa atau membran nilon. (Gambar 8). Penyaring dihibridisasi dengan probe yang dilabel dengan radioaktif. Pelabelan fragment DNA dilakukan dengan dUTP. Genome DNA dapat dibaca 10 -16 jam setelah ditansfer secara lengkap pada nitroselulosa.
Ø  Northtem Blot Analysis
     Metode ini digunakan untuk mengetahui konstruksi RNA yang mempunyai barat molekul lebih basar. Analisa dilakukan dengan cara isolasi RNA dari j_ringan yang mempunyai ekspresi gen yang paling tinggi. Untuk mendapatkan RNA dilakukan dengan denaturasi protein oleh guanidinium isothiocyanat. Elektroforesis RNA dilakukan dengan gel agarose atau ditreatment dengan Dimethylsulfoxide (DMSO) kemudian ditransfer pada nitroselulosa atau saringan nilon ,dan selanjutnya sama dengan pengamatan pada Southern Blot Analysis. Pembanding yang digunakan primer yang mengadung jumlah, struktur dan rataan dari sintesis RNA S1 nuklease.
Ø  Tranlation Analysis
     Transkripsi dari integrasi gen dapat diuji dengan analisa translasi, biasanya produk yang dihasilkan RNA adalah protein. Beberapa tes kolorimetri dapat digunakan untuk mengukur kuantitas protein. Analisa dengan metacle elektroforesis gel agarose yang diwarnai dengan Commassie blue. Teknik lain adalah tranfer protein pada nitroselulose atau saringan nilon kemudian dilakukan Western Blot Analysis. Untuk kepentingan klinik sering dilakukan ELlSA untuk mengukurekspresi gen (Brem, 1989).      Pada akhirnya seekor ternak dapat dikatakan sebagai ternak transgenik bila memenuhi kriteria :
·         Integrasi dari gen yang ditransfer ada pada semua sel-sel somatik.
·          Transmisi dari gen yang ditransfer stabil pada semua keturunan.
·          Ekspresi dari gen yang ditransfer DNA> mRNA > protein.
·         Aktivitas biologi dari protein hasil ekspresi gen yang ditransfer.



BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
·         Pembentukkan ternak transgenik merupakan salah satu cara mutasi gen secara tiba-tiba pada satu generasi dan terkonsentrasi pada gen yang diinginkan.
·         Tujuan pembentukan temak transgenik bisa dikaukan dengan berbagai metode yaitu meningkatkan produktivitas ternak transgenik, meningkatkan resistensi penyakit pada ternak dan yang paling popular adalah sebagai bioreaktor produk-produk biomedis.
·         Metode tranfer gen yang sering digunakan untuk pembentukan ternak transgenik adalah mikroinjeksi DNA pada pronukleus dan dengan mediator spematozoa.
·         Analisis terhadap integrasi gen yang ditransfer dapat dilakukan analisa Southern Blot (untuk DNA), Northern Blot Analysis (untuk RNA) dan Western Blot Analysis untuk protein yang dihasilkan.













DAFTAR PUSTAKA
Bondioli, KR, M.E. Westhusin dan C.R Looney 1990. Production of identical bovine offspring by nuclear transfer. Theriogenology. 33 : 165 - 174.
Bondioli,K.R, Biery, KA., Hill, KG., Jones, KB. and De Mayo, F.G., 1991. Production of Transgenic Cattle by Pronuklear Injection in "Transgenic Animals. pp. 265 -273.
Bremel, RD. 1996. Potential Role of Transgenesis in Dairy Production and Related Areas. Theriogenology., 45 : 51 - 56.
Bonster, RL. , E. P. Sandgren, RD. Palmiter. 1989. No simple solution for making transgenic mice. Cell. 59 : 239 - 241.
Cibelli, J.B.[et.al] 1998. Cloned Calves Product from Nonquisencent Fetal Fibroblast. Science 28. 1256 -1258.
Ebert, K, M. [et.al]. 1991. Transgenic production of a variant of human tissue type plasminogen activator in goat milk. Biol. Technology. 9 : 835.
Eyestone, W.H., 1999. Production and Breeding of Transgenic Cattle Using in Vitro Embryo Production Technology. Theriogenology, 51 : 509 - 517.
Fraley, R, S. Subrami, P. Berg dan D. Papahadjopolous. 1980. Introduction of liposome encapsulated SV40 DNA into cells. J. Biol. Chem. 255: 431 - 435.








                                                          LAMPIRAN

No comments:

Post a Comment

MasterTernak

Tanah Viqueque/renzina

TANAH VIQUEQUE/RENZINA                Tanah Viqueque/renzina ditemukan diatas batu kapur daerah lembab di Jawa, Nusa tenggara, Sulawesi, M...