MAKALAH TRANSVER
GENIK
KELOMPOK
II
1.
DONATUS NALAQ (10)
|
6. FLORIANUS F. TUNDUR (15)
|
2.
DONISIUS F.LODO (11)
|
7. FRANSISKUS BEREK (16)
|
3.
EL YOAN ABOR (12)
|
8. FRANSISKUS RONALDO TOBU (17)
|
4.
ENGELBERTUS A. HAMI (13)
|
9. FREDERIKUS F. FONO (18)
|
5.
ESTER B. NIJA (14)
|
|
FAKULTAS
PETERNAKAN
UNIVERSITAS
NUSA CENDANA
KUPANG
2017
BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
dikemukakan oleh beberapa peneliti
antara lain transfer gen dengan mikroinjeksi pada pronukleus, injeksi pada
germinal vesikel, injeksi gen kedalam sitoplama, melalui sperma, melalui virus
(sebagai mediator), dengan particke gun (particle bombartmen) dan embryonic
stem cells: Diantara metode yang telah dikemukakan diatas ternyata berkembang
sesuai dengan kemajuan hasil produksi dan beberapa kelemahan yang dijumpai pada
masing-masing metode. Sebagai contoh produksi ternak transgenik dengan metode
retroviral sebagai mediator gen yang akan diintegrasikan mulai digantikan
dengan metode lain yang tidak mengandung resiko atau efek samping dari
virus/bakteri. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa metode mikroinjeksi
DNA pada pronukleus yang sering dipakai oleh peneliti (Kart, 1989; Bondioli,
et. al., 1991; Hill et. al., 1992 ; Gagne and Sirard, 1995; Kubisch, et. al.,
1995; Han, et. Al, 1996; Su, et. al., 1998). Produksi ternak transgenik
diperlukan dibidang peternakan. Sebagai contoh pada ternak sapi : panjangnya
interval generasi, jumlah anak yang dihasilkan dan lamanya proses integrasi gen
menjadi tidak efissien bila dilakukan secara konvensional. Oleh karena itu
kebemasilan produksi sapi trangenik sangat diharapkan karena memungkinkan untuk
terjadinya mutasi gen secara tiba-tiba (pada satu generasi) dan lebih terarah
pada gen yang diinginkan. Performans yang diharapkan dari sapi transgenik
adalah sapi yang mempunyai tingkat kesuburan tinggi, efisien dalam pemanfaatan
pakan , kuantitas dan kualitas produksi yang lebih tinggi serta lebih resisten
terhadap penyakit. Permasalahan pada temak transgenik adalah rendahnya
keturunan (offspring) dari ternak trangenik yang dihasilkan baik pada hewan
penelitian maupun pada ternak mamalia (sekitar 1-4%) yang nantinya, menjadi
prioritas peningkatan produksi ternak dibidang peternakan.
Rendahnya keturunan pada produksi
temak transgenik harus dilihat dari berbagai fase produksi, mengingat
panjangnya prosedur yang harus dilalui. Oleh karena iru dalam makalah ini akan
dibahas mengenai metode dan pada makalah ini.
B. TUJUAN
Ø Meningkatkan
produktivitas ternak.
Pada beberapa negara komposisi
genetik dari ternak domestik dimanipulasi untuk kepentingan manusia. Pada
tahun-tahun terakhir, perkembangan teknologi rekombinan DNA menjadi dasar
penting untuk mengisolasi single gen, menganalisa dan memodifikasi
struktur nukleotida dan mengcopi gen yang telah diisolasi dan mentransfer hasil
copian pada genome
Ø Meningkatkan
kesehatan ternak.
Aplikasi
dari teknologi transgenik juga digunakan untuk memperbaiki kesehatan ternak.
Beberapa pendekatan dilakukan untuk meningkatkan resistensi ternak terhadap
suatu penyakit dan pembentukan antibodi.
Resistensi penyakit bisa terjadi
secara alami maupun induksi antibodi. Tikus mengandung gen allel autosom
dominan Mx1 yang tahan terhadap virus influenza. Interferon menstimulasi
produksi protein Mx yang menjadi promotor ketahanan terhadap infeksi virus.
Ø Bioreaktor
untuk produk-produk biomedis.
Ternak transgenik memegang peran panting dalam
menghasilkan produk-produk untuk pengobatan penyakit. Ribuan orang mengambil
keuntungan dari produk-produk biomedik yang dihasilkan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. TEKNIK
TRANSFER GEN
Dari bebarapa literatur dikemukakan banyak teknik untuk
memasukkan DNA asing kedalam genome. Contoh introduksi DNA secara tradisional :
presipitasi kalsium (Graham, 1973), infeksi dengan virus sebagai mediator
(Muligan et.al, 1979), elektroporasi (Neumann et. al., 1992) dan lipofection
(Fraley et. al., 1980). Metode yang dikemukakan Dish Gardon (1994) antara lain:
menggunakan sperma sebagai media transfer gen, mikoinjeksi pada pronukleus,
dengan menggunakan particle gun (Particle bombardment, media virus, injeksi
pada germinal vesicle, injeksi pada sitoplasma oosit (Gambar 1)
Gambar 1. Kemungkinan
metode transfer gen pada sapi (Gardon,1994)
Dari berbagai metode di
atas akan dibahas di bawah ini satu persatu yaitu :
Ø Spermatozoa
sebagai pembawa gen.
Spermatozoa merupakan sarana seluler yang spesifik dirancang
untuk mentransfer DNA asing kedalam oosit. Metode sperma sebagai media tranfser
gen ditemukan oleh Brackett di Amerika Serikat. Penemuan ini menarik minat
peneliti dari Italia (Gandolfi et. al., 1989). Mereka mendemonstrasikan sel
sperma tikus yang berasal dari epididimis sebagai vektor untuk membawa gen
asing kedalam oosit. Pengikatan gen oleh sperma secara optimal bila sperma dalam
keadaan motil dan konsentrasi DNA cukup tinggi. Brinster et. al., (1989)
melaporkan penelitian transfer gen dengan sperma sebagai media menghasilkan
seekor tikus transgenik dari 1300 tikus yang dicoba. Di New Zealand, Peternon
et. al.,(1990) mengemukakan waktu yang tepat untuk resorpsi DNA setelah
dilakukan kapasitasi terhadap sperma. Di Canada Gagne et. al 1991) dengan
menggunakan elektroporasi menunjukkan DNA asing dapat stabil didalam sperma dan
lebih menguntungkan karena dapat mengurangi trauma akibat mikro injeksi.
Ø Mikroinjeksi
pada pronukleus
Kemampuan genetik ternak secara nyata dapat dimanipulasi
melalui pembedahan mikro pada embrio stadium awal (embrio satu sel). Pertama
sekali metode mikroinjeksi dilakukan oleh Gurdon (1963) pada telur amphibi dengan
menginjeksikan sitoplasma kedalam zygot, namun hasilnya tidak berpengaruh pada
perkembangan embrio selanjutnya. Kemudian dicoba lagi dengan cara menginjeksi
mRNA pada oosit amphibi, ternyata mampu mengkode peptida. Penelitian-penelitian
lain mulai menyusul dengan menggunakan hewan laboratorium terutama embrio
mencit dan selanjuynya berkembang pada embrio mamalia (Pinkert, 1994).
Pada mamalia dialoprkan
aleh Sreenan dan Mc Evoy et. al., (1989) dari 11 resipien dilahirkan dua puluh
sapi yang tidak menunjukkan integrasi gen. Injeksi molekul DNA kedalam
pronukleus juga sekaligus mempelajari transkripsi dan kontrol translasi selama
perkembangan embrio. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pada embrio stadium
awal mampu mentranskrip gen baru yang diinjeksikan kedalam pronukleus ( Hill,
et. al, 1992). Metode mikroinjeksi DNA pada pronukleus dapat. DNA langsung
diinjeksikan pada pronukleus jantan dengan kandungan 200 - 500 copi susunan
gen.
Ø Injeksi
gen pada germinal vesikel
Visualisasi dari pronukleus pada sapi sangat sulit dan pertu
pertakuan khusus yaitu sentrifugasi. Pada metode ini penampakan germinal
vesikel meski agak sulit menentukan waktunya tapi penelitian di Polandia
berhasil dilakukan oleh Jura et. al. (1990) dengan dimana DNA dilarutkan dalam
larutan buffer dan diinjeksikan pada mature oesit. Gagne et. al., (1991)
melaporkan bahwa injeksi pada germinal vesikel bisa menjadi alternatif bila
ditemukan waktu yang tepat untuk injeksi dan ini spesifik untuk setiap spesies.
Ø Injeksi
gen pada sitoplama
Beberapa peneliti mengemukakan kemungkinan injeksi DNA kedalam
sitoplasma. Galli et. al., 1991 melakukan metode ini pada sapi, domba dan babi
yaitu injeksi DNA pada stadium berbeda yaitu pada oosit dan zygot, dan hasil
yang diperoleh sangat rendah persentsenya. Injeksi gen pada sitoplasma banyak
dilakukan pada ikan.
Ø Particle
gun
Metode ini banyak
digunakan pada tanaman dengan cara DNA diikat pada suatu mikropartikel. Metode
ini pernah dicobakan pada sapi untuk menguji viabilitas sperma dan pengaruhnya
akibat adanya mikropartikel (Hough dan Foote, 1990 dalam Gordon 1994). Transfer
gen dengan metode ini mempunyai banyak keuntungan yaitu mudah ditangani dengan
satu kali tembakan akan menghasilkan beberapa sasaran , partikel dapat mencapai
sasaran yang lebih dalam dan dapat digunakan pada berbagai macam jaringan
(Potrykus, 1996).
Ø Virus
sebagai media
Seperti pada
mikroinjeksi DNA, integrasi gen pada vieur lebih cepat karena kemampuannnya
mentranskripsi gen. Efektivitas penggunaan virus telah dicoba pada embrio tikus
pada sapi pertama sekali dilakukan oeh Kim et. al., (1993) dengan Murine
Leukemia Virus (MLV). Infeksi tidak hanya pada tryphectoderm tapi sampai ICM.
Kubisch et. al., (1995) menginduksikan materi DNA yang mengandung promotor SV40
atao pb ActinLacZ yang dikendalikan oleh bakteri beta galatosidase. Pada sapi
perah induksi gen bGH terbukti dapat meningkatkan produksi susu sebanyak 18%
(Kar1, 1989). Transkripsi jaringan spesifik mammae dari Mouse Mammary Tumor
Virus (MMTV) dapat menghasilkan susunan Long Terminal Repeat (LTR) pada genom.
Gen dengan struktur c-myc yang berikatan dengan promotor MMTV dan diinduksikan
pada embrio tikus menghasilkan tikus transgenik yang mengalami adenocarcinoma
pada mammae.
B. PROSEDUR
PRODUKSI SAPI TRANSGENIK
Produksi sapi transgenik
sangat tergantung pada kualitas embrio satu sel yang akan di injeksi. Bila
embrio diperoleh secara in vivo maka prosedur diawali dengan superovulasi
ternak donor (untuk mendapatkan banyak embrio),koleksi zigot (embrio satu sel),
mikro injeksi DNA pada embrio, kultur embrio sampai fase blastosis ditransfer pada temak resipien dan diperoleh
sapi transgenik (Bondioli et.al., 1991).
Pada produksi embrio
secara in vitro dimulai dengan koleksi oosit. Oosit diaspirasi dari folikel
berdiameter 2 - 5 mm dengan menggunakan jarum berukuran 18 G. Oosit dicuci
dengan 3 kali dengan medium aspirasi 10 mM TALP-HEPES dan TCM-199 (dengan garam
Eagle's dan L glutamin) ditambah dengan 0.3% BSA dan 2 mM NaHC03, sedangkan
untuk IVM digunakan TCM 199 yang telah diimbuhi dengan hormon FSH dan
estradiol. Kultur oosit dilakukan selama 22 - 24 jam dalam inkubator suhu 39°C
dan 5% CO2.
Spermatozoa yang akan digunakan untuk fertilisasi dipersiapkan dengan metode swim-up
dan konsentrasi akhir spermatozoa 1.6 x 106/ml sperma motil (Rexroad and
Harold, 1994).
IVF dilakukan dalam
medium BSA, setelah 18 jam diharapkan telah terjadi fertilisasi, kemudian
divortex selama 2 menit dalam 2 ml medium TALF-HEPES. Pada tahapan selanjutnya
mikro injeksi DNA. Han .et. al., (1996) melakukan penelitian dengan fragmen
pBLi (5,5 Kb) yang mengandung promotor gen β casein, lactoferin dan
SV40. Metode yang digunakan mikroinjeksi pada nukleus, diawali dengan
penampakan pronukleus yang jelas dan embrio satu sel telah bebas dari kumulus
oophorus. Setelah disentrifugasi dalam mikrosentrifuse (15000 G) selama 7
menit, embrio diinjeksi dengan larutan yang mengandung DNA tepat pada
pronukleus yaitu sekitar 21-25 jam setelah inseminasi buatan. Pembengkakan
pronukleus mengindikasikan keberhasilan injeksi materi DNA, Hasil penelitian
Han, et. al, (1996) menunjukkan rataan zigot hasil lVF yang
diijeksi dengan DNA 85,5% mengalami pembengkakan pronukleus (setelah satu jam
injeksi DNA). Rataan embrio sapi yang berkembang menjadi 2 - 8 sel 72,0%
(1804/2505) dan yang mampu membentuk blastosit sekitar 5,2% (131/2505).
Tahapan selanjutnya kultur dari embrio
hasil injeksi DNA. Ada 2 cara yang bisa dilakukan yaitu melalui induk
perantara (intermediated host) maupun in vitro dengan coculture.
Pada cara pertama embrio sapi ditransfer kedalam UTJ (utero tuba
junction). Embrio diflushing 6 - 9 hari setelah transfer. Bondioli, et. al.(1991)
menemukan kembali 56% embrio yang telah ditransfer
dan 50% dari yang ditemukan dapat berkembang sampai fase blastosis. Tujuh hari
setelah transfer lebih dari separuhnya berkembang menjadi elongated bastocyts,
cara kedua yaitu dengan in Vitro coculture, antara lain dengan menggunakan sel
- sel granulosa (Goto, et. al 1992) dan sel- sel oviduct (Bondioli, et. al
1991). Pada awalnya para peneliti mengkultur embrio yang telah diinjeksi DNA
dengan medium GR1aa (Rosenkrans, 1993), tetapi hasil penelitian menunjuk
rendahnya embrio hasil injeksi yang berkembang menjadi blastosit. Pada
perkembangan selanjutnya medium kultur embrio mengarah pada co-kultur yang
berasal dari ringan fibroblast. Goto, et. al (1992) mengemukakan bahwa dengan
menggunakan co-kultur :rataan perkembangan embrio yang telah diinjeksi DNA
sampai tahap blastosit meningkat dari 4% (4/98) menjadi 11% (12/108). Hal lain
yang perlu diperhatikan adalah periode kultur dari embrio sapi yang telah
diinjeksi DNA" Monson, et. al., (1992) memperoleh rataan kebuntingan
tinggi dari embrio sapi yang telah dikultur selama 7 hari. Hal yang sama
dilakukan oleh Han, et. (1996) juga memperoleh hasil rataan kebuntingan
tertinggi dari embrio sapi yang dikultur selama 7 hari dibandingkan dengan
embrio rang dikultur selama 8 hari
Tahapan terakhir adalah transfer embrio
sapi pada ternak resipien. Embrio yang telah berkembang membentuk blastosit
baik secara in vivo (melalui induk perantara) maupun yang dikultur secara in
vitro ditransfer pada ternak resipien yang telah disinkronisasi sebelumnya
i(Eyestone, 1999). Penelitian yang dilakukan Han, et. al., (1996) dengan cara
mengklasifikasikan blastosit yang berkembang menjadi 4 grade (hanya kualitas
fair - excelent ) dan ditranfer pada ternak resipien. Rataan kebuntingan yang
diperoleh dari tranfer blastosis.
Skema produksi sapi
transgenik dengan metode mikroinjeksi pronukleus. Setelah zigot diperoleh dari hasil flushing
sapi donor, gen aging yang diinginkan diinjeksikan kedalam pronukleus zygot
yang telah disentrifugasi. Kultur embrio yang biasa dilakukan dengan
menggunakan host sebagai perantara kemudian ditransfer pada ternak resipien.
Identifikasi gen yang yang diinjeksikan dilakukan pada keturunan ternak
transgenik dengan PCR, dilanjutkan dengan analisa DNA yang berintegrasi untuk
mengetahui kemampuan transkripsi dari RNA dan produksi protein. Eyestone (1999)
mengemukakan bahwa produksi sapi-sapi transgenik secara invitro dapat mereduksi
biaya- sekitar 50 - 60% bila dibandingkan dengan aplikasi pemuliaan secara
konvensional.
Pada perkembangan selanjutnya telah dikemukakan keberhasilan
generasi ternak transgenik melalui transfer somatik inti pada domba (Schieke,
et. al., 1997) dan sapi (Cibelli, et. al., 1998). Pendekatan teknologi ini
selangkah lebih maju sebagai upaya meningkatkan efisiensi produksi temak
transgenik. Pengujian performance dari generasi pertama dan kedua ternak
transgenik dengan metode transfer inti somatik telah dilakukan oleh Su,
et.al.,(1998).
Inti somatik yang digunakan berasal dari fibroblast fetus yang
di-tranfection secara in vitro. Pada metode ini verifikasi gen yang diinginkan
dilakukan sebelum gen ditransfer, dan tahap selanjutnya transfer gen pada oosit
tanpa inti (telah dienukleasi). Tahapan ini memberi waktu pada kedua gen dari
masing-masing inti somatik fibroblast untuk melakukan fusi. Setelah kedua
komponen fusi, fibroblast transgenik dikultur sampai stadium blastosit dan
ditransfer pada temak resipien yang telah disinkronisasi sebelumnya.
Gambar2 : Produk Sapi
Transgenik dengan Metode Transfer inti Somatik (Niemann and Kues,2000)
Pada metode kedua yaitu transfer gen melalui fibroblast fetus.
Jika dibandingkan dengan prosedur mikroinjeksi pada pronukleus, maka metode
kedua memberikan hasil yang lebih maksimal terhadap ekspresi gen yang
diinginkan karena screening gen dilakukan sebelum ditransfer pada oosit yang
telah dienukleasi dan memungkinkan dilakukan kloning sehingga dapat
meningkatkan jumlah keturunan transgenik. Pada metode injeksi inti permasalahan
rendahnya teturunan transgenik (sekitar 4 - 5%) belum dapat diatasi karena
indentifikasi dari gen yang terkandung pada keturunan transgenik dilakukan
setelah dihasiikan anak dari ternak resipien, sedangkan pada metode transfer
gen melalui inti somatik sel- sel fibroblastfetus, verifikasi dari gen yang
berintegrasi dilakukan sebelum terjadi fusisehingga sangat memungkinkan hanya
gen-gen yang diinginkan yang akan mengalami fusi dan berkembang menjadi
blastosit. Karena gen-gen yang diinginkan telah diverifikasi pada tahap awal
maka ekspresi gen setelah fusi lebih optimal dan membuka peluang lain yaitu
pembuatan kloning sebelum blastosit ditransfer pada ternak resipien sehingga
baik secara kualitas dan kuantitatif keturunan ternak transgenik lebih
meningkat.
C. DETEKSI
TERNAK TRANSGENIK
Integrasi
dan ekspresi gen yang ditranfer dapat dilihat deteksi melalui 3 tahapan :
Ø Deteksi
konstruksi gem dengan Southern blot Analysis
Pada saat ternak lahir,
DNA langsung diisolasi dari jaringan atau darah spesimen. Sulit untuk
mendeteksi DNA yang mempunyai berat molekul tinggi. Isolasi DNA dilakukan
dengan retriksi enzim endonuklease dengan elektroforesis gel agarose untuk
memisahkan fragment DNA. DNA ditransfer pada nitroselulosa atau membran nilon.
(Gambar 8). Penyaring dihibridisasi dengan probe yang dilabel dengan
radioaktif. Pelabelan fragment DNA dilakukan dengan dUTP. Genome DNA dapat
dibaca 10 -16 jam setelah ditansfer secara lengkap pada nitroselulosa.
Ø Northtem
Blot Analysis
Metode ini digunakan untuk mengetahui konstruksi RNA yang
mempunyai barat molekul lebih basar. Analisa dilakukan dengan cara isolasi RNA
dari j_ringan yang mempunyai ekspresi gen yang paling tinggi. Untuk mendapatkan
RNA dilakukan dengan denaturasi protein oleh guanidinium isothiocyanat.
Elektroforesis RNA dilakukan dengan gel agarose atau ditreatment dengan
Dimethylsulfoxide (DMSO) kemudian ditransfer pada nitroselulosa atau saringan
nilon ,dan selanjutnya sama dengan pengamatan pada Southern Blot Analysis.
Pembanding yang digunakan primer yang mengadung jumlah, struktur dan rataan
dari sintesis RNA S1 nuklease.
Ø Tranlation
Analysis
Transkripsi dari integrasi gen dapat diuji dengan analisa
translasi, biasanya produk yang dihasilkan RNA adalah protein. Beberapa tes
kolorimetri dapat digunakan untuk mengukur kuantitas protein. Analisa dengan
metacle elektroforesis gel agarose yang diwarnai dengan Commassie blue. Teknik
lain adalah tranfer protein pada nitroselulose atau saringan nilon kemudian
dilakukan Western Blot Analysis. Untuk kepentingan klinik sering dilakukan
ELlSA untuk mengukurekspresi gen (Brem, 1989). Pada
akhirnya seekor ternak dapat dikatakan sebagai ternak transgenik bila memenuhi
kriteria :
·
Integrasi dari gen yang ditransfer ada
pada semua sel-sel somatik.
·
Transmisi dari gen yang ditransfer stabil pada
semua keturunan.
·
Ekspresi dari gen yang ditransfer DNA> mRNA
> protein.
·
Aktivitas biologi dari protein hasil
ekspresi gen yang ditransfer.
BAB
III
PENUTUP
KESIMPULAN
·
Pembentukkan ternak transgenik merupakan
salah satu cara mutasi gen secara tiba-tiba pada satu generasi dan
terkonsentrasi pada gen yang diinginkan.
·
Tujuan pembentukan temak transgenik bisa
dikaukan dengan berbagai metode yaitu meningkatkan produktivitas ternak
transgenik, meningkatkan resistensi penyakit pada ternak dan yang paling
popular adalah sebagai bioreaktor produk-produk biomedis.
·
Metode tranfer gen yang sering digunakan
untuk pembentukan ternak transgenik adalah mikroinjeksi DNA pada pronukleus dan
dengan mediator spematozoa.
·
Analisis terhadap integrasi gen yang
ditransfer dapat dilakukan analisa Southern Blot (untuk DNA), Northern Blot
Analysis (untuk RNA) dan Western Blot Analysis untuk protein yang dihasilkan.
DAFTAR
PUSTAKA
Bondioli,
KR, M.E. Westhusin dan C.R Looney 1990. Production of identical bovine
offspring by nuclear transfer. Theriogenology. 33 : 165 - 174.
Bondioli,K.R,
Biery, KA., Hill, KG., Jones, KB. and De Mayo, F.G., 1991. Production of Transgenic
Cattle by Pronuklear Injection in "Transgenic Animals. pp. 265 -273.
Bremel,
RD. 1996. Potential Role of Transgenesis in Dairy Production and Related Areas.
Theriogenology., 45 : 51 - 56.
Bonster,
RL. , E. P. Sandgren, RD. Palmiter. 1989. No simple solution for making
transgenic mice. Cell. 59 : 239 - 241.
Cibelli,
J.B.[et.al] 1998. Cloned Calves Product from Nonquisencent Fetal Fibroblast.
Science 28. 1256 -1258.
Ebert,
K, M. [et.al]. 1991. Transgenic production of a variant of human tissue type
plasminogen activator in goat milk. Biol. Technology. 9 : 835.
Eyestone,
W.H., 1999. Production and Breeding of Transgenic Cattle Using in Vitro Embryo
Production Technology. Theriogenology, 51 : 509 - 517.
Fraley,
R, S. Subrami, P. Berg dan D. Papahadjopolous. 1980. Introduction of liposome
encapsulated SV40 DNA into cells. J. Biol. Chem. 255: 431 - 435.
LAMPIRAN
No comments:
Post a Comment