Bab
I
Tinjauan
Puataka
A. Latar
belakang
Indonesia
adalah negara yang memiliki potensi yang besar di bidang pertanian. Dalam
sektor pertanian, peran subsektor peternakan sangat penting sebagai pendukung
penyediaan protein hewani yang berasal dari ternak. Program ketahanan dan
keamanan pangan yang dilaksanakan pemerintah Indonesia saat ini telah dilakukan
melalui program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau (PSDSK) yang telah
dicanangkan pada beberapa tahun yang lalu. Melalui PSDSK ini pemerintah
bertekad mewujudkan ketahanan pangan hewani yang berasal dari ternak berbasis
sumberdaya domestik khususnya ternak sapi potong.
Swasembada
daging sapi sudah lama didambakan oleh masyarakat agar ketergantungan terhadap
impor baik sapi bakalan maupun daging semakin menurun dengan mengembangkan
potensi dalam negeri. Berbagai hambatan muncul dalam program PSDSK ini yang
salah satunya adalah penyakit pada ternak sapi dan kerbau. Penyakit pada ternak
sapi dan kerbau dapat disebabkan oleh infeksi patogen seperti bakteri, virus,
parasit dan jamur, sedangkan penyebab yang non infeksi diantaranya adalah
pakan, genetik, lingkungan, kandang, dan pola pemeliharaan.
Usaha
ternak ruminansia seperti sapi, kambing, dan domba memiliki potensi yang sangat
menjanjikan dengan melimpahnya sumber pakan berupa hijauan yang merupakan
kebutuhan utama ternak hewan ruminansia yang dapat diperoleh dengan sangat
mudah. Bagi peternak, hal yang tidak diinginkan dalam usaha berternak ternak
ruminansia adalah ternak tidak terjangkit suatu penyakit. Apabila ternak
terkena suatu penyakit tentu akan membutuhkan biaya tambahan dalam
pengobatannya. Faktor utama penyebab ternak terjangkit suatu penyakit yaitu
dari segi lingkungan, makanan dan minuman, serta cara peternak memelihara hewan
ternaknya yang dilakukan secara langsung maupun secara tidak langsung yang akan
mempengaruhi kehidupa ternaknya.
Penyakit
pada hewan ternak dapat dikategorikan sebagai penyakit yang menyerang hewan
ternak yang disebabkan oleh agen patogen seperti bakteri, virus, parasit, dan
jamur. Ada juga penyakit yang menyerang hewan ternak yang disebabkan oleh agen
infeksius seperti senyawa beracun atau gangguan metabolisme. Penularan penyakit
dapat dibedakan juga dengan hanya menular antar hewan dan menular dari hewan ke
manusia (zoonosis).
Salah
satu penyakit yang disebabkan oleh jamur pada sapi/kerbau yang sering dijumpai
atau bahkan jarang terjadi di lingkungan masyarakat yaitu kegagalan reproduksi
pada sapi atau kerbau.
B. Rumusan
masalah



C. Tujuan
penulisan



D. Manfaat
penulisan


Bab
II
Dasar
Teori
A.
Mekanisme Kebuntingan
Kebuntingan
merupakan harapan bagi peternak untuk mendapatkan bakalan yang mempunyai mutu
genetik baik dan bagus, mendapatkan susu ataupun mendapatkan peningkatan produksi
susu pada fase laktasi lebih dari 1. Diawali dengan inseminasi buatan,
pembuahan dan persiapan penempelan embrio pada uterus membutuhkan mekanisme
hormonal yang komlpek. Lepasnya sel telur ( ovulasi ) setelah masa estrus akan
dilanjutkan oleh pembentukan corpus
hemoragicum, kemudian terbentuk badan kuning ( corpus luteum ) sebagai
penghasil hormon progesteron yang membantu proses penempelan embrio.
Pada fase
selanjutnya, hormon progesteron akan dihasilkan oleh plasenta untuk
mempertahankan kebuntingan sampai pada saatnya kelahiran ( 280 hari ). Pada
fase-fase tersebut, rahim membutuhkan kondisi tenang tanpa adanya goncangan/tekanan
sedikitpun. Goncangan, tekanan ataupun rabaan yang terlalu keras pada rahim
akan menyebabkan munculnya hormon prostaglandin yang akan melisiskan badan
kuning, lisisnya atau luluhnya badan kuning menyebabkan gangguan produksi
hormon progesteron dan tidak ada lagi yang mampu mempertahankan janin di dalam
rahim.
B. Penyebab Abortus
Secara umum kejadian abortus berdasarkan penyebabnya dibagi dua yaitu
abortus yang diakibatkan oleh faktor infeksius dan non infeksius. Faktor non infeksius yang dapat mengakibatkan abortus diantaranya defisiensi
vitamin A, D dan E, selenium, traumatik, benturan, munculnya hormon
prostaglandin dari endometrial cup, atau injeksi prostaglandin. Selain itu, stres panas juga dapat menyebabkan
hipotensi, hipoksia dan asidosis fetus. Temperatur induk yang tinggi pada
kondisi demam bisa
mempengaruhi kondisi fetus. Beberapa toksin yang dapat mengakibatkan abortus
diantaranya adalah mikotoksin yang
bersifat estrogenik.
Abortus yang bersifat infeksius dapat dibedakan berdasarkan agen
penyebabnya, pada sapi yaitu:
·
Bakteri diantaranya
Bruselosis yang disebabkan oleh Brucella abortus, Leptospirosis yang
disebabkan oleh Leptospira, Vibriosis yang disebabkan oleh Vibrio
foetus veneralis.
·
Virus
diantaranya : Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR), Epizootic
Bovine Abortion (EBA), Bovine Viral Diarrhea (BVD)
Hampir semua
abortus mikotik pada sapi disebabkan oleh dua kelompok jamur.
Sekitar 60-80% disebabkan oleh Aspergillus spp dan kebanyakan adalah Aspergillus fumigatus. Jenis mucorales bertanggung jawab atas keguguran mikotik selebihnya. Kejadian abortus mikotik bervariasi dari 0,5-16% dari semua abortus pada sapi.
Sekitar 60-80% disebabkan oleh Aspergillus spp dan kebanyakan adalah Aspergillus fumigatus. Jenis mucorales bertanggung jawab atas keguguran mikotik selebihnya. Kejadian abortus mikotik bervariasi dari 0,5-16% dari semua abortus pada sapi.
C. Gejala
Klinis
Abortus mikotik umumnya ditandai
oleh perubahan-perubahan nyata pada selaput foetus. Chorion tebal, oedematous,
seperti kulit dan nekrotik. Lesi utama terdapat pada placentoma, karunkel dan
kotiledon sangat membesar, membengkak, oedematous, dan nekrotik.
D. Penularan
Jamur memasuki tubuh hewan melalui
pernapasan dan makanan. Spora jamur kemudian dibawa ke plasenta melalui aliran
darah dari laesio pada saluran pernapasan rumenitis mikotik atau laesio lain
pada saluran pencernaan. Hasil penularan ini secara gradual meyebabkan placentitis, hambatan pemberian
makanan kepada foetus, kematian foetus, dan abortus dalam waktu beberapa minggu
atau beberapa bulan kemudian.
E. Diagnosa
Diagnosa dikuatkan oleh pemeriksaan
mikroskopik terhadap jamur dari placenta
atau foetus, pemeriksaan histopatologik terhadap jaringan placental atau foetal
dan oleh kultur pada media buatan.
F.
PENYAKIT PADA SAPI POTONG
Dalam beternak sapi potong, ada beberapa hal yang
menjadi perhatian bagi para peternak, salah satunya yaitu penyakit yang sering menyerang pada
sapi potong. Berikut ini adalah beberapa penyakit yang sering menyerang sapi
potong beserta cara penanganannya.
1.
Abortus pada
sapi disebabkan jamur

Hampir semua abortus mikotik pada sapi disebabkan oleh
dua kelompok jamur. Sekitar 60-80% disebabkan oleh Aspergillus spp dan
kebanyakan adalah Aspergillus fumigatus. Jenis mucorales bertanggung jawab atas
keguguran mikotik selebihnya. Kejadian abortus mikotik bervariasi dari 0,5-16%
dari semua abortus pada sapi.

Abortus mikotik umumnya ditandai oleh
perubahan-perubahan nyata pada selaput foetus. Chorion tebal, oedematous,
seperti kulit dan nekrotik. Lesi utama terdapat pada placentoma, karunkel dan
kotiledon sangat membesar, membengkak, oedematous, dan nekrotik.

Jamur
memasuki tubuh hewan melalui pernapasan dan makanan. Spora jamur kemudian
dibawa ke plasenta melalui aliran darah dari laesio pada saluran pernapasan
rumenitis mikotik atau laesio lain pada saluran pencernaan. Hasil penularan ini
secara gradual meyebabkan placentitis, hambatan pemberian makanan kepada
foetus, kematian foetus, dan abortus dalam waktu beberapa minggu atau beberapa
bulan kemudian.

Diagnosa dikuatkan oleh pemeriksaan mikroskopik terhadap jamur dari
placenta atau foetus, pemeriksaan histopatologik terhadap jaringan placental
atau foetal dan oleh kultur pada media buatan.
2.
Brucellosis
pada sapi

Brucellosis
atau penyakit Bang disebabkan suatu kuman kecil berbentuk batang dan bersifat gram
negatif, Brucella abortus, yang tumbuh di dalam sel. Bakteri ini pertama kali
diuraikan oleh Bang di Denmark tahun 1897. Brucellosis terjangkit pada sapi di
seluruh dunia, kecuali di negara-negara yang telah mengendalikan penyakit
tersebut dengan vaksinasi atau dengan cara-cara lainnya

Penularan
dapat terjadi karena pembelian dan pemasukan satu betina yang tertular ke dalam
suatu kelompok ternak. Materi yang tertular dapat terbawa dari suatu peternakan
ke peternakan lain oleh anjing atau manusia. Infeksi sering terjadi karena
ingesti kotoran dari alat kelamin hewan yang mengalami abortus yang
mengkontaminasi makanan dan air. Penularan dapat pula terjadi melalui selaput
lender mata dan intrauterin setelah inseminasi dengan semen yang tertular.

Brucella
abortus menyebabkan keguguran pada trimester terakhir masa kebuntingan
dandiikuti oleh suatu periode infertilitas. Brucella abortus menyebabkan demam
“undulans” atau brucellosis pada manusia yang meminum susu mentah yang belum
dipasteurisasi atau bersentuhan dengan kotoran atau tenunan yang tertular.
Keluron karena Brucella abortus umumnya terjadi dari bulan keenam sampai
kesembila (setelah bulan kelima) periode kebuntingan. Kejadian abortus berkisar
antara 5-90% dalam suatu kelompok ternak, tergantung dari jumlah hewan bunting
yang tertular, daya penularan, virulensi organisme dan faktor lain.

Diagnosa
terhadap brucellosis diperlukan untuk dua tujuan, pertama untuk menetapkan
sebab abortus pada satu individu ternak, dan kedua untuk mengidentifikasi
ternak dalam rangka program pengendalian penyakit tersebut. Sejarah kelompok
ternak sangat bermanfaat dalam mendiagnosa
penyebab abortus. Diagnosa perbandingan antara penyebab abortus cukup sulit dan
tidak mungkin tanpa bantuan pemeriksaan laboratoris. Lesio placental pada
brucellosis, vibriosis dan penularan jamur pada sapi nampak terlihat sama.

Organisme
Brucella abortus dapat diidentifikasi pada preparat ulas dari bahan paru-paru.
Media tersebut umumnya diisolasi dalam media kultur atau pada marmut.

Pencegahan
brucellosis pada sapi didasarkan pada tindakan higiene dan sanitasi, vaksin
anak sapi dengan Strain 19 dan pengujian serta penyingkiran sapi reaktor. Tindakan
higienik sangat penting dalam program pencegahan brucellosis pada suatu kelompok
ternak. Sapi yang tertular sebaiknya dijual atau dipisahkan dari kelompoknya.
Fetus dan placenta yang digugurkan harus dikubur atau dibakar dan tempat yang terkontaminasi harus didesinfeksi
dengan 4% larutan kresol atau desinfektan sejenis.
3.
Vibriosis
atau Campilobakteriosis Pada Sapi

Campylobacteriosis
yang disebabkan oleh Campylobacter foetus venerialis (dahulu disebut Vibrio
foetus veneralis) adalah suatu penyakit penyebab utama kegagalan reproduksi
pada sapi yang disebarkan melalui perkawinan dan ditandai oleh infertilitas
dengan jumlah perkawinan yang makin tinggi untuk satu konsepsi. Umumnya
ditemukan kematian embrio dini dan abortus pada bulan yang keempat sampai akhir
masa kebuntingan. Sesuai dengan namanya Campylobacter foetus berbentuk koma (,)
atau S. Pada suhu 60° ia akan mati dalam waktu 5 menit, tetapi dapat hidup
10-20 hari ditanah, rumput kering dan kotoran ternak tergantung pada kondisi
suhu dan kelembapan.

Gejala-gejala
infeksi Campylobacter tidak tampak sebelum terjadi infertilitas. Gejala akut
meliputi penurunan angka konsepsi sampai lebih rendah dari 10% dan infertilitas
dapat berlangsung 2-6 bulan atau lebih.

Diagnosa
terhadap Campylobacter didasarkan pada kelompok ternak yang bersangkutan,
anamnesa dan catatan reproduksi, pemeriksaan fisik individual pada ternak dalam
kelompok, termasuk pejantan dan diagnosa laboratoris. Abortus umumnya terjadi
dalam bulan ke-5 sampai ke-8 masa bunting.

Cara terbaik dan termudah dalam pengendalian infeksi Campylobacter Foetus
adalah tenik inseminasi buatan dengan semen dari pejantan yang sehat.

Pengobatan terhadap individu satu betina dapat dilakukan dengan infusi
antibiotik secara intra uterin seperti penstrep dalam larutan air atau minyak
atau antibiotik berspektum luas.
4.
Penyakit
Jembrana (JD)

Penyakit
jembrana (JD) hanya menyerang sapi Bali, sebegitu jauh penyakit jembrana tidak
ditemui pada rumpun sapi yang lain. Sapi yang terserang berumur lebih dari 1
tahun dan yang terbanyak 4 – 6 tahun dan jenis kelamin tidak mempengaruhi
kejadian penyakit ini.

Sumber Infeksi: sampai saat ini belum diketahui dengan pasti sumber infeksi
dari penyakit jembrana ini. Peranan vecto : lewat penyakit insect born, Ex :
Culicoides sp dan nyamuk.

Pada sapi yang terserang penyakit jembrana (JD), Suhu berkisar antara 39°C
– 42°C. Pada suhu diatas 40°C dapat berlangsung selama 3 – 5 hari, dan kemudian
akan diikuti penurunan suhu, namun pada derajat subnormal sapi akan mati. Pembengkakan kelenjar limfe sapi yang
sakit dapat terjadi diare dengan tinja atau feses lembek, profus sampai
tercampur darah. Erosi ringan sampai nekrosis terbatas epitel selaput lendir
mulut. Pada sapi betina yang sedang bunting diatas 6 bulan akan mengalami keguguran
Gejala keringat darah Perdarahan pada mata Demam, anoreksia, lesu, pernapasan
dan detak nadi cepta. Leucopenia disertai dengan leukositosis.

Gejala sepsis kelenjar limfe superficial prefemoralis dan prescapularis
sangat membengkak, bidang sayatan basah dan berdarah dengan warna kelabu
kemerahan tua erosi ringan sampai nekrosis superficial epitel selaput lender
mulut selaput lender usus ada radang bersifat katar, mucus sampai hemoragis
gejala has pada rectum adanya perdarahan berupa garis seperti zebra cross
hemoragi dinding empedu, dinding empedu menebal dan isinya mengental pada otak
ditemukan hiperemi.

Pengambilan dan pengiriman sample :
ü bahan
pemeriksaan laboratorium : limfa, kelenjar limfe, hati, ginjal, adrenal dan
darah .
ü untuk bahan isolasi : limfa dan kelenjar limfe dikirim
dalam termos berisi dry ice dan
pengiriman dilakukan secepat mungkin.
ü untuk
preparat histopatologik : kelenjar limfe, limfa hati, ginjal, adrenal otak
dikirim dalam formalin 10 %

Pewarnaan giemza terlihat intra
sitoplasmik bergerombol atau satu – satu
berwarna coklat kehitaman, berbentuk coccoid, diplococcoid atau batang isolasi dilakukan dengan penyuntikan intra peritoneal pada mencit atau
marmot jantan atau inokulasi telur bertunas secara intra kuning telur atau pada
biakan cell pemeriksaan secara histopatologik ditemukan kerusakan endotel dan
proliferasi epitel pembuluh darah, perivaskular cuffing pada otak tidak ada
pemeriksaan secara virologic diberi antibiotic kemudian disuntikkan pada
kantong kuning telur dari telur bertunas berumur 5 – 6 hari atau pada sapi
rentan atau pada biakan cell.

Pencegahan : pemberian vaksin jembrana, yang disiapkan dari plasma hewan
yang ditulari secara buatan. Sementara pengendalian dan pemberantasannya yaitu
:
ü hewan sakit
harus benar benar diisolasi.
ü hewan mati
segera dikubur yang dalam.
ü pemusnahan
vector.
ü penyemprotan
dengan pestisida dapat diulang setiap 1 – 2 minggu
Pengobatannya yaitu dengan memberikan antibiotic untuk
pencegahan infeksi sekunder.
5.
Antraks

Bacillus
anthracis yang menular melalui kontak langsung, makanan/minuman atau pernafasan. Gejala yang sering ditimbukan oleh
penyakit ini :
ü demam tinggi, badan
lemah dan gemetar.
ü gangguan
pernafasan.
ü pembengkakan
pada kelenjar dada, leher, alat kelamin dan badan penuh bisul.
ü kadang-kadang
darah berwarna merah hitam yang keluar melalui hidung, telinga, mulut, anus dan
vagina.
ü kotoran ternak cair dan sering bercampur darah.
ü limpa
bengkak dan berwarna kehitaman.

Bab III
Pembahasan
A. Jamur
Penyebab Abortus Pada Sapi
Disgenesis reproduksi mencakup kegagalan reproduksi tanpa memandang
penyebabnya maupun periode kebuntingan sewaktu terjadi kehilangan konseptus.
Kehilangan konseptus yang terjadi sejak pembuahan sel telur sampai diferensiasi
embrional (kurang lebih 45 hari) disebut kematian embrional. Kehilangan
konseptus yang terjadi selama periode foetal yaitu dari saat diferensiasi
sampai kelahiran, dibagi atas abortus
dan kelahiran prematur.
Abortus atau keluron adalah kematian fetus sebelum akhir masa kebuntingan
dengan fetus yang belum sanggup hidup, sedangkan kelahiran prematur adalah
pengeluaran fetus sebelum akhir masa kebuntingan dengan fetus yang sanggup hidup
sendiri di luar tubuh induk. Hampir semua abortus mikotik pada sapi disebabkan oleh dua kelompok
jamur. Sekitar 60 - 80 %
disebabkan oleh Aspergillus spp dan kebanyakan adalah Aspergillus fumigatus.
Jenis Mucorales bertanggung jawab atas keguguran mikotik selebihnya. Kejadian
abortus mikotik bervariasi dari 0,5 – 16 % dari semua abortus pada sapi.
Aspergillus terdapat dimana-mana dan umumnya bersifat saprofit. Jamur
memasuki tubuh hewan melalui pernapasan dan makanan. Spora jamur kemudian
dibawa ke plasenta melalui aliran darah dari laesio lain pada saluran
pencernaan. Hasil penularan ini secara gradual menyebabkan plasentitis,
hambatan pemberian makanan pada saluran fetus, kematian fetus dan abortus dalam
waktu beberapa minggu atau beberapa bulan kemudian.
Kebanyakan abortus terjadi pada bulan kelima sampai ketujuh masa
kebuntingan, tetapi dapat berlangsung dari bulan keempat sampai waktu partus.
Fetus umumnya dikeluarkan dalam keadaan mati, tetapi pada beberapa kasus
terjadi kelahiran prematur atau fetus lahir pada waktunya dalam keadaan hidup
tapi lemah dan mati segera sesudah lahir. Abortus mikotik umumnya ditandai oleh
perubahan-perubahan nyata pada selaput fetus, tapi lebih nyata daripada
perubahan-perubahan abortus karena brusellosis dan vibriosis. Chorion tebal,
oedematus, seperti kulit dan neurotik. Laesio utama terdapat pada plasentoma.
Karunkel dan kotiledon sangat membesar, membengkak, oedematus dan nekrotik.
Kotiledon yang nekrotik memperlihatkan suatu pusat yang kelabu suram
dikelilingi oleh daerah hemoragika dan bertaut erat dengan khorion yang
nekrotik. Di dalam ruang utero khorion umumnya terdapat cairan kemerah-merahan
dengan kepingan-kepingan nanah. Jamur menyebar melalui selaput fetus ke dalam
cairan foetal. Fetus dapat tampak normal atau, pada 30 % kasus jamur dapat
bertumbuh pada kulit dalam bentuk bercak-bercak seperti pada ichtyosis congenital
atau ringworm.
Cairan serosa berwarna jerami dapat ditemukan pada jaringan foetal atau
rongga tubuhnya. Jamur dapat diisolasi dari isi lambung, dari chorion, atau kotiledon
plasenta yang terserang. Penyembuhan pada kasus yang parah cukup lambat dan tertunda
atau dapat diikuti oleh kemajiran permanen. Diagnosa dikuatkan oleh pemeriksaan
mikroskopik terhadap jamur dari plasenta atau foetus, pemeriksaan
histopatologik terhadap jaringan plasental atau foetal dan oleh kultur pada media buatan.
Tabel 1. Kejadian abortus karena infeksius berdasarkan waktu kejadian
Hampir semua
abortus karena jamur pada sapi disebabkan oleh dua kelompok jamur.
Sekitar 60 - 80 % disebabkan
oleh Aspergillus spp dan kebanyakan adalah Aspergillus fumigatus.
Jenis Mucorales bertanggung
jawab atas keguguran mikotik selebihnya. Kejadian abortus mikotik bervariasi
dari 0,5 - 16 % dari semua abortus pada sapi Aspergillus terdapat dimana-mana dan umumnya
bersifat saprofit. Jamur memasuki tubuh hewan melalui pernapasan dan makanan. Spora jamur kemudian dibawa ke plasenta
melalui aliran darah.
Hasil
penularan ini secara gradual menyebabkan plasentitis, hambatan pemberian makanan pada
saluran fetus, kematian fetus dan abortus dalam waktu beberapa minggu atau
beberapa bulan kemudian. Kebanyakan abortus terjadi pada bulan kelima sampai
ketujuh masa kebuntingan, tetapi dapat berlangsung dari bulan keempat sampai
waktu partus. Fetus umumnya dikeluarkan dalam keadaan mati, tetapi pada
beberapa kasus terjadi kelahiran prematur atau fetus lahir pada waktunya dalam
keadaan hidup tapi lemah dan mati segera sesudah lahir.
B. Neosporosis
Dinyatakan Sebagai Penyebab Abortus Pada Sapi-Sapi Perah
Neospora caninum adalah parasit golongan protozoa yang sangat
mirip dengan Toxoplasma gondii. Neospora telah ditemukan di
seluruh belahan dunia, sering merupakan penyebab kasus keguguran pada
ternak sapi dan Anjing secara experimental dibuktikan sebagai hospes
definitif. Alur penularan dimulai dari feses anjing yang mengandung
oosit tersporulasi terdapat pada pakan, termakan sapi yang sedang bunting,
menyebabkan keguguran, mumifikasi atau cacat lahir dan alur penularan ini
disebut penularan secara eksogenous.
Penularan secara endogenous ( vertikal ) terjadi kelahiran yang sehat
tetapi secara persisten terinfeksi Neospora caninum. Abortus akan
terjadi berulang pada kebuntingan berikutnya dan menurun terus ke
generasi berikutnya. Hewan yang menjadi hospes antara alami adalah sapi,
kerbau dan rusa. Jadi, sudah bukan jamannya lagi memelihara anjing untuk
penjaga ternak seperti yang kebanyakan peternak sapi di daerah pegunungan.
Pernyataan
ini juga disampaikan oleh drh. Budi Santosa dari Balai Veteriner Bukit
Tinggi yang melakukan surveilans aktif untuk melihat sero positif terhadap Neospora
caninum pada sapi potong, sapi perah dan kerbau. Surveilans dilakukan di
wilayah regional II meliputi Prov. Sumbar, Riau dan Jambi dengan mengambil
sample darah sapi dan kerbau yang mempunyai riwayat abortus. Berdasarkan
informasi yang disampaikan seroprevalensi di beberapa negara Jerman 49%,
Belanda 76%, Spanyol 63%, Swedia 13% , Thailand dan Vietnam 5,5%, Malaysia 9%.
Faktor risiko potensial terhadap neosporosis pada sapi ( parameter
seropositif ) meliputi: Jumlah sapi pada peternakan, proporsi external replacements,
kepadatan anjing, keberadaan anjing pada peternakan, suhu rata-rata di bulan
juli.
Tabel 2.
Hasil Pengujian sampel berdasar jenis ternak
Abortus
dapat menyebabkan kerusakan selaput fetus, endometrium, retensio
plasenta dan ketidaksuburan sesudah abortus. Secara ekonomi, abortus merupakan
satu masalah besar bagi peternak karena kehilangan fetus dan dapat juga diikuti dengan
penyakit pada rahim serta
ketidaksuburan untuk waktu yang lama. Apabila abortus disebabkan oleh faktor
infeksius, maka hal dapat mengancam kesehatan semua sapi betina di dalam
kelompoknya.
Bab
IV
Kesimpulan
Penyakit reproduksi pada ternak dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang
cukup besar bagi petani khususnya dan masyarakat luas pada umumnya. Karena
selain merusakkan kehidupan ternak, dan mneghambat perkembanganpopulasi juga
dapat menular kepada manusia.
Diantara gangguan reproduksi yang cukup mempengaruhi produktivitas ternak
yaitu kemajiran pada ternak betina. Kemajiran ternak betina bisa disebabkan
oleh infeksi penyakit ataupun non infeksi seperti gangguan hormon, kelainan
bawaan, patologi kelamin dan pakan yang kurang nutrisi.
Kerugian ekonomi akibat serangan penyakit dapat ditekan jika diagnosa,
pencegahan, ataupun pengobatan dilakukan sedini mungkin, secara cepat dan tepat
agar penyakit tidak menyebar ke ternak lain. Dan keberhasilan reproduksi akan
sangat mendukung peningkatan populasi ternak.
Kemajiran ternak betina yang disebabkan oleh infeksi-infeksi penyakit yang
umum dan sering terjadi di lapangan. Diantaranya penyakit infeksi yang
disebabkan oleh jamur yang sering oleh aspergillus fumigatus, virus seperti
IBR, bakteri seperti Brucellosis, dan parasit seperti Trichomoniasis.
Pada umumnya pencegahan dapat dilakukan dengan sanitasi kandang yang bagus,
vasksinasi, isolasi sedini mungkin jika ada hewan yang terserang infeksi
penyakit kemajiran dan pemberian nutrisi yang baik pada hewan yang bunting.
Bab
V
Daftar
Pustaka
Anonimus. 2008. Penularan Kongenital Penyakit Infectious Bovine Rhino
Tracheitis pada Sapi dan Kerbau di Indonesia
http://peternakan.Iitbang. deptan.go.id.
http://animal-health.library4farming.org di dowload
jumat 10 Desember 2010 pukul 15.00 wita
http://budidaya-di.blogspot.com/2010/02/jamur-penyebab-abortus-pada-sapi.html, di dowload
jumat 10 Desember 2010 pukul 15.00 wita
http://duniaveteriner.com, di
dowload jumat 10 Desember 2010 pukul 15.00 wita
http://en.wikipedia.org/wiki/Mucorales, di dowload
jumat 10 Desember 2010 pukul 15.00 wita
Kurniadhi. P. 2003. Teknik pembuatan biakan sel Primer Ginjal Janin Sapi
Untuk Menumbuhkan Virus Infectious Bovine Rhinotracheitis. Bogor
Sudarisman, 2003. Penularan Kongenital Penyakit Infectious Bovine
Rhinotracheitis (IBR) pada Sapi dan Kerbau di Indonesia. Wartazoa Vol. 17 No. 1
Th. 2007
Sudarisman,
2003. Penyakit Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) pada Sapi di Lembaga
Pembibitan Ternak di Indonesia. Wartazoa Vol. 13 No. 3 Th. 2003.
ditunggu postingan terbaru bro
ReplyDelete